Hasyim and Wikanda, Fauzi and P., Fuji Rahmadi and AW, Saifuddin and Pastika, IGusti Ngurah Made and Sitompul, Lamsiang and Tarigan, Steven B, Amor and Arifinsyah and Hutagalung, Syahala Tua and Krishna, R. Geopala and Tjoe, Juswan and Dirgeyasa, I Wayan and Song, Darsen and Berutu, Arfiena Fitria (eds.). (2022) Integrasi Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal. CV. Merdeka Kreasi Group, Medan. ISBN 978-623-5408-49-1
Book.pdf - Published Version
Download (3MB) | Preview
Abstract
Bangsa Jawa sejak dahulu telah mewariskan ajaran untuk
membangun akhlak yang luhur, ikut membangun peradaban bangsa
yang penuh akhlak ini. Para raja, bangsawan dan rakyat jelata, telah
menjadikan ajaran sebagai pedoman hidup sehari-hari. Jika diteliti
dan ditelaah dengan seksama, ajaran kehidupan atau masyarakat
adat Jawa, analisisnya menemukan bahwa falsafah Jawa dengan
ajaran hubungan vertikal dan horizontal tidak dapat dipisahkan dan
tidak terbantahkan. Lihat poin pertama falsafah hidup orang Jawa
di bawah ini. Dalam berfilsafat, orang sering menggunakan Jawa�Unen untuk menata kehidupan manusia. Arti penting ungkapan
Jawa seringkali tidak dipahami oleh mayoritas keturunan Jawa di
era modern ini. Tak salah jika muncul judul, “wong jowo kudu iso
njawani”. Filsafat Jawa dinilai kuno dan ketinggalan zaman. Bahkan,
filosofi nenek moyang yang berlaku terus berlanjut sepanjang hidup.
Warisan pemikiran budaya Jawa bahkan mampu memperluas
kearifan seseorang. Imam Ghazali dalam risalahnya mengatakan,
bahwa pemegang kekuasaan sebagai orang yang mendapat nikmat
yang besar dari Allah. Oleh karena itu, jika mereka bertindak jujur dan adil, maka orang yang benar-benar mulia adalah pemegang
kekuasaan. Pendapat Imam Ghazali ini sesuai dengan falsafah hidup
orang Jawa dan Islam yang mengajarkan kebaikan, seperti manusia
harus berguna bagi orang lain, jujur, dan adil. Hal ini dapat dilihat
dari poin 1 dan 8 falsafah masyarakat Jawa, sehingga dapat diterima
oleh masyarakat suku-suku lain di Indonesia.