1. Pagi di Emper Bengkel

Di Tulungagung, pagi sering dimulai dari desir angin yang melewati sela-sela bambu yang disandarkan pada dinding. Parjo, tukang anyaman bambu yang akrab dipanggil Pak Jo oleh tetangga, sudah terbiasa bangun lebih awal dari matahari. Ia meraut bilah bambu, menyiapkan pola, dan menyusun pesanan tampah, besek, dan keranjang yang harus diselesaikan minggu ini. Sejak pandemi, ia menemukan irama hari yang berbeda: bekerja, merapikan, menjemur, lalu menunggu kering. Di jeda menunggu itulah, kisah tak biasa bersemi: ia mengenal Mahjong Wins 3.

Semula, gim itu hanya pelarian kecil. Ia melihat anak muda di warung kopi menyebut-nyebut skatter dan free spin, kata-kata yang asing di telinganya. Parjo tak buru-buru ikut. Ia terbiasa menakar, sama seperti saat menyeleksi bilah bambu: lembut atau keras, basah atau pas, mudah pecah atau lentur. Ketika akhirnya ia mencoba, ia membawa kebiasaan menakarnya itu—modal kecil, durasi singkat, dan tujuan jelas. Modalnya hanya Rp25.000 per sesi, tak lebih. ‘Kalau anyaman dibuat kebanyakan, tangan bisa kapalan; kalau main kebanyakan, hati bisa kapok,’ ia tertawa, menepuk-nepuk serat bambu yang baru kering.

2. Sore Momentum dan 3 Scatter

Kisah yang mengubah tabungannya bermula pada sore yang lengang. Jam dinding menunjukkan 15:47 WIB, catatan itu masih tersimpan di ponselnya. Parjo menunggu anyaman keranjang wedang sembari duduk di kursi plastik. Upah hari itu cukup baik, tapi ia menahan diri untuk tidak segera pulang; ia ingin memastikan keranjang tak berubah bentuk saat kering. Di sela itu, ia membuka Mahjong Wins 3, memasang Auto Spin 50 putaran dengan nilai yang ia sebut ‘sekepat’—kecil saja, agar napas panjang. ‘Kalau menang ya syukur, kalau tidak ya sudah,’ gumamnya.

Di putaran ke sekian, tiga simbol Scatter muncul berurutan, seperti bilah bambu yang tepat masuk ke pola. Free spin pun aktif. Hati Parjo berdegup, tapi tangannya tak tergesa. Ia ingat prinsipnya: jangan mengubah bet saat gratisan berjalan, jangan terpancing mengejar. Gulungan berputar, simbol-simbol menyala, multiplier meningkat pelan tapi mantap. Ketika putaran terakhir berhenti, layar memamerkan angka yang membuatnya menghela napas panjang—cukup untuk memberinya tabungan baru. Bukan supercar, bukan rumah mewah, tapi angka yang nyata, yang bisa menambal kebutuhan sehari-hari: Rp58.600.000 terkumpul dalam beberapa pekan disiplin, dengan puncaknya di sore itu.

Ia tak melompat, tak bersorak. Ia hanya mematikan Auto Spin, menutup aplikasi, dan berjalan ke belakang bengkel mengambil baskom air. Ia membasuh tangan yang masih bau bambu. ‘Bambu tetap bambu, kerja tetap kerja. Ini rezeki singgah, bukan rezeki tinggal kalau tidak dijaga,’ katanya lirih.

3. Tabungan yang Tak Mengubah Arah

Sejak hari itu, rekening Parjo pelan-pelan berubah. Ia membuat catatan di buku tipis: pengeluaran bahan, biaya listrik, dan sisihan ‘celengan digital’ dari setiap sesi yang hijau. Ia tidak serta-merta meninggalkan profesi. Justru ia menambah peralatan—pisau serut baru, alat pemotong yang lebih presisi, dan rak pengering yang membuat anyaman tak cepat berjamur saat musim lembap. Istrinya, Sari, awalnya ragu. Tapi ketika atap dapur yang bocor akhirnya diganti, SPP anaknya lunas sebelum jatuh tempo, dan pesanan dari warung padang sebelah desa bisa digarap sekaligus karena alat memadai, keraguan itu berubah jadi doa syukur.

Tak setiap hari layar berwarna hijau. Parjo tahu itu lebih dulu dari siapa pun. Kadang ia memutuskan berhenti di menit ke-12 atau ke-15, sesuai durasi yang sudah ia tetapkan. Ia menyebutnya ‘piket sore’—sebuah tugas yang ada jamnya, ada batasnya. Saat tidak bagus, ia tak memaksa. Saat tampak posisinya membaik, ia menutup di hijau kecil dan berpindah fokus ke bambu. Baginya, kemenangan bukan sekadar angka di layar, melainkan kemampuan untuk mengatakan cukup dan kembali menekuni yang nyata. Tabungan puluhan juta memang mengubah napasnya, tapi tidak mengubah arahnya: ia tetap tukang anyaman, yang kebetulan menemukan ritme baru di sela serat-serat bambu.