1. Cat Mengering, Mimpi Mengalir

Di kampung kecil di pinggiran Bekasi, seorang mantan tukang cat bernama Raga pernah bangun pagi-pagi sebelum matahari menembus kabut. Tangannya terbiasa memegang kuas, mengaduk cat, dan menatap tembok kosong yang menunggu jadi cerita baru. Upahnya harian: cukup untuk beras, sewa kamar petak, dan kadang secangkir kopi hitam di warung seberang proyek. Raga tidak pernah mengeluh, tapi ia tahu diam-diam ada sesuatu yang ia kejar: rasa cukup, rasa pulang yang tidak menagih jatuh tempo setiap akhir bulan.

Di antara jeda menunggu cat mengering, ia sering mendengar cerita tetangga tentang peluang, rejeki yang datang tak disangka, dan perubahan hidup yang bisa saja terjadi hanya dalam satu momen. Untuk Raga, mimpi itu seperti lapisan cat paling tipis—nyaris tak kelihatan tapi memperhalus semuanya. Ia menyimpan keyakinan kecil: jalan hidup kadang melengkung, dan tugasnya adalah berjalan sampai belokan itu terlihat.

2. Putaran Malam di PETANITOTO

Malam itu, pukul 21:13 WIB, Raga duduk di bangku plastik warung kopi. Proyek siangnya selesai lebih cepat; tembok terakhir sudah disapu warna krem, mengering pelan. Earphone menempel di telinganya, bunyi hujan ringan memantul di atap seng. Ia membuka ponselnya dan, seperti beberapa kali sebelumnya, menyalakan permainan yang baginya terasa seperti menonton kembang api: Gates of Olympus di PETANITOTO. Ia tahu ini hiburan yang datang dengan risiko; ia pun sudah menetapkan batas sederhana: modal Rp25.000, berhenti kalau habis. Itu saja. Tidak ada janji apa pun, tidak ada rencana muluk, hanya jeda singkat setelah hari panjang yang melelahkan.

Putaran awal biasa saja, semacam latar yang sabar menunggu momen utamanya. Lalu, tanpa diduga, rangkaian Free Spins beruntun muncul, dan simbol petir—yang selama ini hanya lewat—jatuh berkali-kali. Pengali 500x menyalak seperti lampu sorot di panggung gelap. Raga tidak langsung paham, ia hanya melihat angka bergerak cepat sementara kopi di gelasnya mendingin. Saat layar berhenti, angka akhir terpampang: Rp277.000.000. Warung kopi tetap bising dengan obrolan bola dan hujan, tetapi dalam kepala Raga, sunyi yang penuh syukur mekar seperti dini hari. Ia menatap ponsel, menahan napas, lalu menunduk; dunia yang tadinya berjarak satu gaji, tiba-tiba terasa selangkah lebih dekat.

3. Dari Satu Kamar ke Satu Blok Kontrakan

Raga tidak langsung berteriak atau merayakan. Besok paginya, ia kembali ke proyek, menyelesaikan sisa pekerjaan, membayar warung yang biasa ia tunda. Setelah beberapa hari, ia mengajak istrinya—Sari—berjalan menelusuri gang-gang kecil, melihat rumah petak yang disewakan. Di kepalanya, menggema percakapan-percakapan lama dengan para penghuni kos: tentang sulitnya mencari kamar bersih, sejuk, dengan harga jujur dan pemilik yang mau mendengar keluh. Itulah ide yang ia genggam: mengubah kemenangan yang tak pernah ia bayangkan, menjadi kontrakan yang bisa menampung cerita orang lain. Ia membeli sebidang tanah sempit di dekat pasar, memilih desain empat pintu petak dengan ventilasi baik, meminang tukang dari rekan-rekan lamanya agar rejeki itu membentang. Pelan tapi pasti, Raga tidak lagi membawa kuas ke proyek orang lain—ia membawanya untuk mengecat masa depan miliknya sendiri.