LAPORAN AKHIR PENELITIAN PRODUK TERAPAN POTRET SIANTAR TEMPO DULU: PEMANFAATAN BANGUNAN PUSAKA BUDAYA SEBAGAI DESTINASI WISATA BUDAYA DI SUMATRA UTARA

Damanik, Erond L and Simanjuntak, Daniel H.P and Daud (2020) LAPORAN AKHIR PENELITIAN PRODUK TERAPAN POTRET SIANTAR TEMPO DULU: PEMANFAATAN BANGUNAN PUSAKA BUDAYA SEBAGAI DESTINASI WISATA BUDAYA DI SUMATRA UTARA. Project Report. LPPM, Medan.

[thumbnail of Document.pdf]
Preview
Text
Document.pdf - Published Version

Download (115kB) | Preview
[thumbnail of Report.pdf]
Preview
Text
Report.pdf - Published Version

Download (7MB) | Preview

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dan mendiskusikan pemamfaatan
bangunan pusaka budaya menjadi destinasi wisata budaya di Sumatera Utara.
Penelitian dimotivasi kurang maksimalnya konservasi terhadap bangunan
bersejarah, warisan perkebunan di Kota Pematangsiantar. Sebagian besar,
bangunan bersejarah, meskipun masih ditemukan berdiri megah di jantung kota,
dimanfaatkan sebagai kantor, cafe, hotel, sekolah, dan toko, namun sebagian
mengalami penelantaran atau pembiaran dan sebagian telah dimusnahkan.
Urgensi dan signifikansi kajian ini ditekankan pada pengelolaan bangunan
bersejarah sebagai destinasi wisata di perkotaan (city tourism), berkaitan erat
dengan konservasi bangunan bersejarah, penentuan kawasan bersejarah, dan pada
akhirnya berkontribusi bagi pengembangan teritorial kota. Bangunan bersejarah,
sesungguhnya berimplikasi ekonomi, sosial dan budaya yang menunjuk pada
identitas, memori kolektif maupun sejarah perkembangan kota. Bangunan�bangunan bersejarah adalah ikon dan monumen kota yang menandai embrio, cikal
bakal, dan batu penjuru, peralihan sebuah kampung bernama Siantar, wilayah
kekuasaan klan Damanik di Simalungun menjadi Gemeente (Kotamadya) tahun
1917. Bangunan bersejarah merekam seluruh aktifitas perkembangan kota
(municipal code) dalam rupa kantor, bank, cafe, kolam renang, sekolah, rumah
ibadah, toko, bioskop, jembatan, jalan, kereta api, telepon dan telegrap, kebun
bunga, ruang terbuka hijau (esplanade), pabrik es, barak militer, barak polisi, dan,
rumah sakit, pusat pasar dan lain-lain.
Perkembangan kota Siantar yang begitu pesat, kota perkebunan, kota
terbesar kedua di Sumatera Utara, sesungguhnya mengalami transformasi sejak
takluknya penguasa lokal Siantar (klan Damanik, berpusat di Pulau Holang),
tahun 1907. Pada saat itu, Sang Naualuh Damanik, Raja Siantar, ditangkap dan
diinternir Belanda ke Bengkalis, Riau. Serentak, 6 raja lainnya di Simalungun
mengakui otoritas dan wewenang Pemerintah Belanda. Praktis, seluruh wilayah
Simalungun, 7 kerajaan, menjadi lahan konsesi bagi investasi asing seperti karet
(1907), teh (1911), Kopi (1912), Kelapa Sawit (1917), Sisal (1924) dan Coklat
(1925). Perkebunan terluas adalah milik HVA, RCMA, Harison and Crosfield
yang berpusat di Siantar-Simalungun dan sekitarnya. Pada akhirnya, Siantar
menjadi daerah modal kedua terbesar di Sumatera Timur (baca Sumatra Utara)
dengan komoditas beragam. Pabrik pengolahan didirikan untuk mengolah
sumberdaya perkebunan sebelum di ekspor ke Eropa, terutama Amsterdam.
Kontribusi perkebunan bagi municipal code ditandai oleh (1) peralihan
kampung menjadi kotamadya, (2) kelengkapan infrastruktur sebagai kota, dan (3)
menjadi pusat bisnis perkebunan kedua di Sumatera Utara setelah Deli (Medan).
Transformasi kampung Siantar menjadi kota, terlihat pada denah pengembangan
kota bertahun 1917, yang memanjang dari selatan (jalan Simbolon) ke utara
(Rumahsakit Marihat Estate) di Jalan Asahan, diapit dan diantarai oleh Bah
(Sungai) Bolon di timur dan tangki BPM di barat. Luas kotanya adalah 1044
hektar.
Jantung kota Siantar adalah ground zero (titik nol) yang berada di depan
Siantar Townhall (Balaikota) di depan esplanade (Kebun bunga). Di sekeliling
Kebun Bunga, terdapat Javasche Bank (Bank BRI), Natives Bank (Bank Batak),
Simalungun International Club (Gedung Juang), Kantor Telefoon dan telegraf
(kantor telkom), DSM Station dan gudang (Stasiun dan gudang Kereta Api Deli),
Siantar Hotel, Ria Bioskoop (Bioskop Ria), Lanraad Justicie (pengadilan tinggi),
dan Dinas BOW (Pekerjaan Umum) dan Perencana Kota (Bappeda). Jantung kota
ini tidak jauh dari swapraja Siantar (Siantar zelfbestuur) yang berada di Pulau
Holang, Pamatang. Di Pamatang, terdapat istana Raja Siantar (terbakar tahun
1919), pesanggerahan (pengganti istana), rumah raja (huis van radja), termasuk
Pabrik Es, yang mengolah air dari Bah Bolon. Berhadapan dengan pusat
pemerintahan zelfbestuur terdapat Siantar Central Market (Pusat Pasar Siantar).
Di sekitar Pulau Holang, terdapat Siantar Central Hospital (Rumah sakit
Djasamen Saragih). Di sebelah Pulau Holang adalah jalan Cipto, yakni China
Town (Pecinan) di Siantar. Disekitarnya terdapat hotel dan barak militer serta
Gereja Katolik di Jalan Sibolga.
Ke utara terutama di sekitar jalan Simbolon terdapat Simalungun Central
Hospital (Rumah sakit Tentara), Siantar Zoo (taman margasatwa Siantar), HVA
Boarding School (Taman Asuhan), huis van Asistent Resident Siantar (Rumah
Dinas Walikota), maupun Gereja Protestan pertama di Jalan Gereja. Kawasan ini
adalah Europeanwijk, kawasan elit, khusus bagi orang Eropa. Disekitarnya
terdapat Barak Polisi, Barak Militer dan juga Kantor Pos. Ke selatan, terdapat
Normal School (SMP Negeri 1), Sekolah Khusus bagi Bangsawan Simalungun
(Yayasan Perguruan HKBP) dan Marihat Hospital (STT HKBP Siantar).
Laporan kemajuan ini adalah follow-up ataupun rekomendasi kepada
pemerintah kota Pematangsiantar guna tetap melindungi, merawat dan
melestarikan unit bangunan yang masih tersedia guna ditetapkan sebagai cagar
budaya sebagaimana tersebut pada UU nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya ataupun UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Budaya. Bangunan cagar
budaya didefenisikan sebagai: “Susunan binaan yang terbuat dari benda alam
dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang
menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan
manusia”.
Pelestarian dan Bangunan Pusaka Budaya di Siantar hanya dapat
dimanfaatkan sebagai ruang publik dan destinasi wisata yang berkontribusi bagi
masyarakat. Sebagai destinasi city tourism, bangunan pusaka budaya harus
memiliki 3 (tiga) karakteristik khusus, yaitu: (1) dimanfaatkan sebagai ruang
publik sehingga dapat diakses oleh setiap orang, tidak tertutup bagi pengunjung,
atau pengunjung dapat leluasa memasuki bangunan untuk melihat dan
menyaksikan sejarah, pengetahuan, arsitektur dan kekhasan bangunan; (2)
memiliki kontribusi bagi pertumbuhan sejarah kota, identitas, dan memori kolektif
bagi penduduk kota dan pengunjung dengan minat khusus. Kontribusi, dalam hal
ini berkorelasi dengan pendekatan kesejahteraan yakni memberikan insentif
kemakmuran bagi masyarakat kota, dan (3) pelestarian bangunan pusaka budaya
melalui regulasi pemerintah sehingga terhindar dari demolisasi ataupun pembiaran
dari kerusakan.
Bangunan pusaka budaya, dengan ketiga karakteristik di atas memerlukan
political will pemerintah maupun masyarakat dalam 2 hal, yaitu: (1) penerbitan
regulasi khusus melalui Peraturan Daerah yang mengkaji bangunan-bangunan
cagar budaya yang potensial serta mewakili sejarah kota melalui kajian Tim Ahli
Cagar Budaya (TACB) yang kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya kota, dan
(2) pemberian insentif bagi pengelola bangunan cagar budaya seperti; (i) insentif
pengecatan dan perbaikan bangunan secara periodik, (ii) insentif keringanan pajak
bumi dan bangunan, listrik, air dan lain-lain yang berkenan dengan objek, dan (iii)
memberikan penanda, berupa prasasti ataupun simbol khusus tentang bangunan
yang ditetapkan sebagai cagar budaya.
Apabila langkah ini telah dilakukan, pemerintah ataupun institusi pusaka
budaya dapat memanfaatkan bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya
untuk kepentingan umum. Misalnya; (1) pengupayaan setiap bangunan yang
ditetapkan sebagai pusaka budaya untuk dimanfaatkan sebagai ruang publik;
bank, cafe, butik, salon, kantor, restoran, agensi dan lain-lain; (2) bekerjasama
dengan biro agensi perjalanan wisata untuk mendorong promosi wisata dan
menggaet wisatawan, dan (iii) penciptaan MICE (meeting, incentive, conference
dan exhibition) di kota melalui kerjasama dengan institusi pemerintah, swasta,
pribadi, baik secara nasional maupun berskala internasional.
Apabila prasyarat di atas telah terpenuhi, bangunan yang telah ditetapkan
sebagai pusaka budaya telah mumpuni menjadi destinasi wisata budaya. Pekerjaan
terakhir adalah merumuskan dan menetapkan model city tourism yang sesuai
dengan selera wisatawan yang dipadu dengan karakter khusus lokalitas kota.
Melalui model wisata, city tourism menjadi alternatif mendorong ekonomi
masyarakat kota, menggeliatkan ekonomi masyarakat, meningkatkan sektor
informal dan ekonomi kreatif. Pada gilirannya, kemampuan mengemas bangunan
pusaka budaya sebagai destinasi city tourism, berkontribusi bagi pendapatan asli
daerah dan juga sumber pemasukan bagi masyarakat kota.
Potensi city tourism di Pematangsiantar berkualifikasi tinggi apabila
dikelola dengan baik. Bukan hanya karena diapit objek wisata bertaraf nasional
(Danau Toba), maupun wisata perairan di Selat Malaka, tetapi juga karena
kedudukannya sebagai penyangga wisata Danau Toba. Kemudian, potensi lainnya
adalah tersedianya objek berupa bangunan pusaka budaya yang potensial dikelola
dan sekaligus wisata agro di perkebunan. City tourism di Kota Pematangsiantar,
sesuai dengan karakteristiknya adalah kombinasi wisata kota dan perkebunan.
Buku ini, menawarkan kekhususan Pamatangsiantar dalam kerangka
pemamfaatan bangunan pusaka budaya sebagai destinasi wisata, yaitu city tourism
with plantations memories.
Model city tourism yang kami tawarkan dalam buku ini merupakan
perenungan dan pengkajian mendalam yang diharapkan memiliki relevansi
dengan pengembangan wisata dan tata ruang di kota Pematangsiantar dengan cita�cita dan impian yang terekam dalam city tourism with plantation memories.
Bagaimanapun juga, rencana indah melalui konsep ini hanya dapat dicapai apabila
ada sinergi antar-pihak, berkolaborasi untuk mewujudkan city tourism bagi
kebaikan semua pihak di Kota Siantar.
Kesulitan mendasar yang dihadapi dewasa ini, terkait pemanfaatan
bangunan pusaka budaya sebagai objek destinasi city tourism di Pamatangsiantar,
terangkum dalam 4 persoalan mendasar yang teridentifikasi, sebagai berikut; (1)
belum adanya regulasi pemerintah kota dalam merumuskan dan menetapkan
pengembangan tata ruang dan tata kota berbasis bangunan pusaka budaya.
Kealpaan regulasi berdampak bagi tidak adanya zonasi atau segmen khusus yang
mengatur tentang pelestarian bangunan pusaka budaya; (2) belum adanya
bangunan yang ditetapkan sebagai pusaka budaya (cagar budaya), baik berskala
nasional, provinsi maupun level kota. Ketiadaan ini berdampak bagi demolisasi
bangunan yang seharusnya dilestarikan tergerus dengan pengrusakan, pembiaran
dan pemusnahan bangunan di Kota Pamatangsiantar; (3) tidak semuanya
bangunan pusaka budaya periode kolonial termanfaatkan sebagai ruang publik
yang dapat diakses oleh pengunjung. Beberapa bangunan diantaranya dikuasai
oleh badan usaha yang bersifat protektif terhadap publik; dan (4) kurangnya
political will pemerintah kota dan dinas terkait dalam memajukan city tourism.
Selama ini, arah dan orientasi kebijakan pariwisata kota masih difokuskan pada
atraksi budaya; pesta, carnaval, pameran, pertunjukan dan sama sekali tidak
menyentuh bangunan pusaka budaya yang memiliki potensi wisata.
Dengan keterbatasan di atas, bukan mustahil mengemas bangunan era
perkebunan menjadi destinasi city tourism di Kota Pamatangsiantar. Mengingat
posisinya yang strategis, sebagaimana dikemukakan diawal prolog ini, seharusnya
pemerintah kota maupun instansi terkait memiliki keinginan untuk mengemasnya
dengan baik. Tinggalkan paradigma lama dan beralihlah ke paradigma wisata baru
sebagaimana ditegaskan UNESCO maupun UNWTO yakni wisata warisan
budaya yang memberdayakan kultur dan karakteristik lokal. Melalui paradigma
eco-tourism, bangunan periode perkebunan mampu menampung wisata minat
khusus sekaligus konservasi, dan pengembangan ekonomi teritorial di
Pamatangsiantar

Item Type: Monograph (Project Report)
Keywords: potret siantar tempo dulu; bangunan pusaka budaya; destinasi wisata; Sumatera Utara
Subjects: D History General and Old World > D History (General)
D History General and Old World > D History (General) > D204 Modern History
D History General and Old World > D History (General) > D880 Developing Countries
Divisions: Lembaga Penelitian
Depositing User: Mrs Catur Dedek Khadijah
Date Deposited: 19 Apr 2023 04:03
Last Modified: 19 Apr 2023 04:03
URI: https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/51806

Actions (login required)

View Item
View Item